Senin, 01 Juni 2009

Kesalahpahaman tentang Islamisasi Sains

Seorang teman yang terobsesi dengan Islamisasi ilmu pengetahuan pernah bertanya mengapa dalam makalah-makalah ilmiah saya tidak tercantum ayat Alquran? Ia yakin, mencantumkan ayat Alquran dalam makalah ilmiah adalah salah satu upaya Islamisasi ilmu pengetahuan.

Dalam makalah ilmiah ilmu sosial mungkin saja tercantum ayat Alquran yang terkait dengan perilaku atau sistem nilai manusia yang sedang dikaji. Dalam ilmu sosial, merujuk pada sumber Islami adalah sahih dan merupakan salah satu upaya Islamisasi ilmu sosial yang telah banyak diwarnai sistem nilai non-Islam. Namun, dalam sains yang mengkaji perilaku alam, tepatkah ayat Alquran dijadikan rujukan analisis ilmiahnya? Dan secara umum, perlukah Islamisasi sains?

Ketika saya menulis skripsi untuk memperoleh gelar sarjana astronomi di ITB tentang gugusan bintang-bintang muda di galaksi Bimasakti yang mengindikasikan bidang galaksi melengkung, kutipan ayat Alquran (Q.S. 3:190-191 dan Q.S. 85:1) hanya saya cantumkan di halaman depan, tidak masuk dalam makalah. Alquran menjadi landasan iman dalam mengkaji ayat-ayat Allah di alam semesta, tapi tidak dapat digunakan untuk memperkuat argumentasi scientific-nya.

Dalam sains, argumentasi ilmiah harus berpijak pada landasan yang dapat diterima setiap orang, apa pun agamanya. Ketika menyusun desertasi S3 di Jepang yang mengkaji tentang pembentukan bintang, saya sengaja menuliskan kalimat yang secara tersirat mengandung pengertian "bintang dibentuk" oleh Allah, bukan terbentuk dengan sendirinya. Profesor pembimbing saya pun mencoretnya dan mengganti kalimat itu sehingga netral tanpa nuansa konflik keyakinan akan ada tidaknya Tuhan pencipta alam.

Perlukah Islamisasi sains? Ketika semangat Islamisasi ilmu pengetahuan muncul pada awal 1980-an, Direktur Direktorat Energi Nuklir Pakistan, Bashiruddin Mahmood, bersama teman-temannya mendirikan Holy Quran Research Foundation. Salah satu hasil kajiannya adalah buku Mechanics of the Doomsday and Life after Death: The Ultimate Fate of the Universe as Seen Through the Holy Quran (1987). Sayang, obsesinya mengislamkan sains tampaknya tidak mempunyai pijakan. Fenomena penciptaan dan kehancuran alam semesta yang katanya ditinjau dengan Alquran, dianalisis tanpa menggunakan sains secara utuh. Hasilnya, banyak kejanggalan dari segi sains.

Upaya Islamisasi sains yang salah arah menimbulkan kritik tajam dari Dr. Pervez Hoodbhoy, pakar fisika partikel dan nuklir dari Quaid-e-Azam University, Islamabad. Atas saran Prof. Abdus Salam (Penerima hadiah Nobel Fisika 1979), Hoodbhoy memaparkan kritiknya dalam buku Islam and Science: Religious Orthodoxy and the Battle for Rationality (1992).

Baik Hoodbhoy maupun Salam sepakat bahwa upaya Islamisasi sains telah salah langkah. Secara spesifik, Hoodbhoy mengkritik beberapa kajian yang oleh para pemaparnya --di beberapa konferensi tentang Alquran dan sains-- dianggap sebagai sains Islam. Kajian-kajian yang dikritik tajam itu antara lain tentang formulasi matematis tingkat kemunafikan, analisis Isra Miraj dengan teori relativitas, jin yang terbuat dari api sebagai energi alternatif, dan formula kuantitatif pahala salat berjamaah sebagai fungsi dari jumlah jamaah.

Sebenarnya, perlukah Islamisasi sains? Untuk menjawabnya, kita kaji lima ayat ini. Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan. Menciptakan manusia dari segumpal darah. Bacalah! Dan Tuhanmu Yang Maha Pemurah yang mengajarkan dengan pena. Mengajar manusia hal-hal yang belum diketahuinya (Q. S. Al-Alaq:1-5). Lima ayat ini bukan sekadar perintah untuk membaca ayat quraniyah. Terkandung di dalamnya dorongan untuk membaca ayat-ayat kauniyah di alam. Manusia pun dianugerahi kemampuan analisis untuk mengurai rahasia di balik semua fenomena alam. Kompilasi pengetahuan itu kemudian didokumentasi dan disebarkan melalui tulisan yang disimbolkan dengan pena. Pembacaan ayat-ayat kauniyah ini akhirnya melahirkan sains. Ada astronomi, fisika, kimia, biologi, geologi, dan sebagainya.

Maka dari esensinya, sains sudah Islami. Hukum-hukum yang digali dan dirumuskan sains seluruhnya tunduk pada hukum Allah. Pembuktian teori-teori sains pun dilandasi pencarian kebenaran, bukan pembenaran nafsu manusia. Dalam sains, kesalahan analisis dimaklumi, tetapi kebohongan adalah bencana.

Hukum konservasi massa dan energi dinilai menentang tauhid hanya karena sering keliru disebut sebagai hukum kekekalan massa dan energi. Padahal, hukum ini adalah hukum Allah yang dirumuskan manusia, bahwa massa dan energi tidak bisa diciptakan dari ketiadaan dan tidak bisa dimusnahkan, alam dan manusia hanya bisa mengalihkannya menjadi wujud yang lain. Hanya Allah yang kuasa menciptakan dan memusnahkan. Bukankah itu sangat Islami?

Jadi, Islamisasi sains sungguh keliru. Bukan pada tempatnya menjadikan ayat Alquran sebagai alat analisis sains. Dalam sains, rujukan yang dipakai mesti dapat dipahami siapa pun tanpa memandang sistem nilai atau agamanya. (catatan editor PiSQ; contoh tentang sains sejarah Nabi Nuh a.s., bila dapat dibuktikan keberadaan tokoh ini (kapan dan di mana) secara metode ilmiah (sains) maka tokoh Nuh a.s. akan menjadi tokoh sejarah penting untuk seluruh umat manusia walaupun bagi mereka yang tidak mengenal tokoh Nuh dalam kitab suci dan keyakinannya). Tidak ada sains Islam dan sains non-Islam, yang ada saintis Muslim dan saintis non-Muslim. Pada merekalah sistem nilai tidak mungkin dilepaskan. Memang tidak tampak dalam makalah ilmiahnya, tetapi sistem nilai yang dianut seorang saintis kadang tercermin dalam tulisan populer atau semi-ilmiah.

"Bacalah dengan nama Tuhanmu yang menciptakan". Maka, riset saintis Muslim berangkat dari keyakinan bahwa Allah pencipta dan pemelihara alam serta hanya karena-Nya pangkal segala niat. Atas dasar itu, setiap tahapan riset yang menyingkap mata rantai rahasia alam disyukuri bukan dengan berbangga diri, melainkan dengan ungkapan "Rabbana maa khaalaqta haadza baathilaa". Tuhan kami, tidaklah Engkau ciptakan semua ini sia-sia (Q. S. 3:191). (Dr. T. Djamaluddin, peneliti Lapan Bandung, anggota Dewan PiSQ-ICMI)***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar