Senin, 22 November 2010

Potensi Anomali Cuaca Pasca Letusan Merapi

Badan Penelitian dan Pengembangan Teknologi Kegunungapian (BPPTK) Yogyakarta -lembaga resmi yang memonitor gunung Merapi secara terus-menerus baik dalam kondisi aktif normal maupun di luar normal seperti saat ini- secara resmi melansir letusan Merapi 2010 ini merupakan letusan skala VEI 4. Pernyataan resmi ini mengonfirmasi dugaan sebelumnya akan dinamika Merapi dalam letusan kali ini. Namun BPPTK juga menekankan -mengutip mas Agus Hendratno- bahwa dalam skala letusan VEI 4 ini dinamika Merapi sungguh sulit untuk ditebak sehingga kapan letusan berakhir menjadi hal yang sangat sulit diprediksi. Senada dengannya, Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) di Bandung pun melansir penyataan bahwa aktivitas Merapi masih terhitung tinggi meski intensitas letusan memang cenderung merendah, seperti telah ditulis sebelumnya. Namun masih terdapat kemungkinan intensitas letusan menaik lagi hingga mendekati atau bahkan menyamai letusan besar 3-5 November lalu. Sehingga Merapi tetap berstatus awas, dengan zonasi radius bahayanya yang spesifik per wilayah dan seharusnya dipenuhi semua pihak demi keselamatan bersama. Terlebih korban jiwa yang terenggut dalam letusan kali ini cukup banyak, diindikasikan mencapai 450-an jiwa atau terbesar dalam 80 tahun terakhir.

Menanti kapan letusan Merapi usai mungkin seperti Menunggu Godot-nya Samuel Beckett. Namun, sembari menunggu hal yang terasa tak berkesudahan itu, pihak-pihak terkait dan masyarakat luas, baik di sekitar Merapi maupun di Indonesia secara keseluruhan, sebaiknya juga mulai mempersiapkan diri akan berbagai kemungkinan pasca letusan. Dalam konteks lokal, dengan keluaran magma melebihi 100 juta meter kubik yang kini sebagian besar tertumpuk di lembah-lembah sungai yang berhulu di Merapi, dibutuhkan suatu penanganan terencana agar material tersebut tidak berdampak luas. Dalam skup Yogyakarta, sungai-sungai yang melintasi kota ini khususnya sungai Code (yang terhubung langsung dengan sungai Boyong, salah satu sungai yang menjadi jalan tol material vulkanik Merapi) harus diperhatikan, termasuk menyiapkan penduduk yang bermukim sepanjang lembahnya untuk bersiap-siap dievakuasi tatkala lahar dingin dalam volume besar meluncur melewati alur sungai. Perhatian besar terutama harus diarahkan kepada lingkungan di sekitar kelokan/tekuk sungai (slope-break), mengingat pada lokasi inilah aliran lahar dingin bisa melejit keluar dari alur sungai. Perhatian yang sama seharusnya juga diberikan pada alur sungai Krasak, Bebeng, Putih dan Pabelan yang mengarah ke Magelang. Apalagi estimasi awal memperlihatkan volume seluruh lembah sungai tersebut masih lebih kecil dibanding 100 juta meter kubik, sehingga ada ketidakseimbangan di sini.

Tambora

Secara regional (Indonesia) dan global, juga tak ada salahnya untuk mulai memprakirakan potensi anomali cuaca pasca letusan Merapi. Bahwa letusan gunung api berpotensi mengubah cuaca, tak ada yang meragukannya. Letusan Tambora 1815 adalah contoh yang paling sering diulas. Letusan yang mencapai puncaknya pada 11 April 1815 itu merupakan letusan superkolossal, memuntahkan 150 km kubik magma yang disemburkan hingga ketinggian 43 km pada skala letusan VEI 7 yang setara dengan tingkat energi 27.000 megaton TNT. Sebagai pembanding, jika seluruh hululedak nuklir yang dimiliki dua negara adidaya pada puncak Perang Dingin dikumpulkan dan diledakkan bersama-sama, energi yang dilepaskannya 'hanya' 20.000 megaton TNT, sehingga letusan Tambora masih 35 % lebih energetik. Dahsyatnya letusan Tambora bisa dilihat dari kemampuannya memenggal pucuk gunung dari yang semua berketinggian 4.300 meter menjadi hanya setinggi 2.720 meter. Pucuk yang terpenggal lantas menyisakan kawah besar (kaldera) bergaris tengah 7 km. Debu dan batu letusan diendapkan hingga 1.300 km dari gunung -di Yogyakarta pun masih setebal 1 cm-, namun mayoitas mengendap di area seluas 874 km persegi dengan ketebalan rata-rata 20 meter. Thomas Stanford Raffles -saat itu Indonesia dibawah kekuasaan Inggris- mencatat korban jiwa yang jatuh di Pulau Sumbawa saja mencapai 100 ribu jiwa.

Jejak letusan Tambora 1815 sebagaimana dicitrakan satelit pengindraan jauh NASA. Nampak kaldera bergaris tengah 7 km yang terbentuk di tubuh gunung Tambora, pasca letusan super-kolossal 1815. Inilah letusan yang mengubah wajah iklim dunia.

Sumber : NASA, 2009

Namun kedahsyatan letusan Tambora 1815 yang melegenda adalah kemampuannya menyimpangkan iklim dunia. Dari 150 km kubik magma-nya, 36 km kubik ditaburkan jauh tinggi ke lapisan stratosfer, termasuk didalamnya 65 juta ton Belerang yang lantas bereaksi dengan uap air dan oksigen di atmosfer sehingga membentuk 200 juta ton asam sulfat berbentuk aerosol. Aerosol ini tersebar ke segenap penjuru atmosfer Bumi dan berperan menghalangi sinar Matahari sehingga intensitasnya di permukaan Bumi tinggal 75 % dari normal. Padahal dalam waktu yang sama, aktivitas Matahari pun sedang cenderung menurun -ditandai dengan sedikitnya jumlah bintik Matahari di permukaannya- dalam periode yang lebih dikenal sebagai ekstrimisitas minimum Dalton. Kombinasinya dengan letusan Tambora membuat suhu global menurun 1 derajat Celcius dari normal (0,7 derajat Celcius di Eropa), yang menggiring dunia ke episode perubahan iklim tak terperi sepanjang sejarah modern.

Tahun 1816 selalu dikenang sebagai tahun tanpa musim panas (year without summer) karena inilah saat Eropa menggigil kedinginan ketika suhu rata-rata sepanjang tahun itu sama dengan suhu musim dingin. Salju menyebar dimana-mana, membuat lahan pertanian tak bisa digarap. Tiap negara pun didera problem kelaparan hebat, yang berujung pada gejolak sosial akibat melambungnya harga makanan. Hujan turun terus-menerus hampir setiap saat yang menjadikan jalanan sebagai kubangan lumpur. Ambisi Napoleon Bonaparte, kaisar Perancis yang sebelumnya tertawan namun sempat melarikan diri dari Pulau Elba, menyerbu Russia berantakan total tatkala amunisi dan perbekalan beratnya terjebak di jalanan berlumpur. Kekalahan demi kekalahan terus dideritanya dalam berbagai pertempuran, hingga akhirnya pertempuran terakhir di Waterloo memaksanya bertekuk lutut. Sementara di India, kolera jenis baru merajalela, menelan korban jiwa yang tak terhitung.

Dua Skenario

Letusan Merapi 2010 barangkali takkan berdampak sehebat skenario Tambora di atas, bahkan andaikata dikombinasikan dengan serial letusan gunung Eyjafjallajokul di Islandia (yang dikategorikan dalam skala VEI 5 atau setingkat di atas Merapi). Model perubahan iklim TTAPS (akronim dari lima ilmuwan perintisnya yakni Turco, Toon, Pollack, Ackerman dan Sagan) yang bisa diaplikasikan baik untuk memerikan dampak perang nuklir global, letusan kolossal gunung api maupun tumbukan komet/asteroid raksasa (diameter > 1 km) mengindikasikan perubahan iklim global baru akan terjadi jika energi yang dilepaskan salah satu peristiwa itu melebihi 1.000 megaton TNT. Sementara kombinasi energi letusan Merapi dan Eyjafjallajokul hingga saat ini masih dibawah 200 megaton TNT.

Namun dampak regional takkan terelakkan. Pada titik ini harus dipahami bahwa situasi atmosfer menjelang letusan Merapi 2010 hampir sama dengan skenario Tambora. Badan atmosfer dan kelautan seperti NOAA dan LAPAN telah lama memperingatkan aktivitas Matahari saat ini cenderung menurun dibandingkan normal. Sepanjang 2009 lalu permukaan Matahari bersih dari bintik Matahari selama 260 hari, rekor baru sepanjang seabad terakhir kecuali tahun 1913. Dan sejak 2004, Matahari sudah menjalani 772 hari tanpa bintik, berkebalikan dengan normalnya yang hanya 485 hari. Model-model matematis kontemporer mengindikasikan dalam siklus Matahari ke-24 ini, yang telah dimulai sejak Desember 2008, Matahari akan sangat tenang sehingga pada puncak aktivitasnya (diprediksi pada bulan April/Mei 2004 mendatang) hanya akan memiliki bilangan bintik Matahari 40. Konsekuensinya, intensitas pencahayaan Matahari pun menurun dan menimbulkan pendinginan global yang dampaknya melampar ke segenap penjuru Bumi.

Prediksi siklus ke-24 Matahari yang telah dimulai pada Desember 2008. Dibanding sebelumnya, nampak jelas bahwa siklus ini memperlihatkan Matahari yang tenang, yang memicu global cooling.

Nah, letusan Merapi 2010 (bersama Eyjafjallajokul) berpotensi kian meredupkan pencahayaan Matahari akibat tabir surya dari aerosol sulfat yang dibentuknya di atmosfer. Memanfaatkan data-data volume magma vs massa aerosol sulfat dari letusan-letusan gunung api di kawasan tropis seperti Tambora 1815, Krakatau 1883, St. Maria 1902 dan Agung 1963, diperoleh suatu hubungan linier yang mengestimasikan letusan Merapi 2010 memproduksi sedikitnya 6 juta ton aerosol sulfat di atmosfer yang akan berkorelasi terhadap penurunan suhu sekitar 0,2 derajat Celcius di kawasan regional. Merujuk pada respon lautan Indonesia terhadap global cooling, penurunan suhu tersebut mungkin tetap akan diikuti hangatnya air laut di sekitar Indonesia sehingga produksi uap air tetap tinggi dan akibatnya curah hujan yang tinggi akan tetap terjadi. Apalagi LAPAN telah mengingatkan bahwa situasi cuaca Indonesia di tahun 2011 mendatang diestimasikan akan tetap sama dengan situasi cuaca tahun ini.

Estimasi linier sulfat vs volume magma letusan gunung di daerah topis. Kiri : melibatkan Tambora 1815, kanan : tidak melibatkan Tambora 1815. Dari estimasi ini maka diindikasikan Merapi 2010 membentuk setidaknya 6 juta ton aerosol sulfat di atmosfer.

Sumber : Ma'rufin, 2010

Di sisi lain, kita juga tak bisa menafikan data empirik seperti dipaparkan Dr. Joko Wiratmo (ITB) bahwa letusan-letusan berskala tinggi gunung api (khususnya di kawasan tropis) sering diiringi fenomena El-Nino pada tahun berikutnya. Sebagai contoh, letusan El-Chichon (Meksiko) 1982 dan Galunggung 1983 yang diikuti El-Nino 1982-1983 serta letusan kolossal Pinatubo (Filipina) 1991 dan Kelut 1990 yang diikuti El-Nino 1992-1993.

Peta sebaran gas sulfurdioksida secara komposit per 4 - 8 November 2010 dari letusan Merapi. Nampak kopnsentrasi gas mayoritas berada di Samudera Hindia, pada lapisan tropopause (15 km). NASA memperkirakan jumlah gas ini sekitar 0,17 juta ton.

Sumber : NASA

Dengan demikian ada dua potensi anomali cuaca yang bisa terjadi pasca letusan Merapi ini. Yang pertama: tahun tanpa musim kering karena curah hujan berlebih. sementara yang kedua: tahun dengan sedikit musim hujan karena munculnya El-Nino. Mana yang berpeluang lebih mungkin terjadi? Biarlah ini menjadi urusan para vulkanolog dan klimatolog. Sembari menanti analisis mereka, tak ada salahnya untuk mulai mempersiapkan diri.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar